SALAM RI #1


Counter

Berlakunya PP No. 66 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Penyelenggaraan Pendidikan terhadap Masa Depan Pendidikan Nasional


            Pendidikan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kemajuan suatu bangsa. Dengan pendidikan, kita bisa memajukan kebudayaan dan mengangkat derajat bangsa di mata dunia. Daoed Joesoef pernah mengungkapkan betapa pentingnya pendidikan bahwa “pendidikan merupakan alat yang menentukan sekali untuk mencapai kemajuan dalam segala bidang penghidupan, dalam memilih dan membina hidup yang baik, yang sesuai dengan martabat manusia[1].” Betapa pentingnya pendidikan dan tentunya tidak bisa lepas dari kehidupan manusia.

            Penyelenggaraan pendidikan di Indonesia merupakan amanat UUD 1945. Menurut Pembukaan UUD 1945 alinea keempat salah satu tujuan bernegara adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Kemudian penjabaran dari amanat Pembukaan UUD 1945 tersebut adalah dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dengan diundangkan dan diberlakukannya Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2008 tentang Wajib Belajar, Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan, Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan dan Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2010 Tentang Perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 ini, sudah dapat dikatakan bahwa salah satu amanat pendiri bangsa ini telah tergenapi. Tentunya landasan tersebutlah yang harus dijadikan semangat bagi bangsa ini untuk memajukkan lagi pendidikan di Indonesia.

Sejarah pendidikan di Indonesia pun amatlah panjang utamanya adalah pendidikan tinggi di Indonesia. Saat ini Perguruan Tinggi Negeri maupun Perguruan Tinggi Swasta menjadi tonggak yang amat penting bagi perkembangan pendidikan di Indonesia. Peran perguruan tinggi amatlah penting dalam mencetak generasi-generasi muda Indonesia yang baik. Perhitungan nilai kulaitas pendidikan pun biasanya diukur dari sejauh mana perguruan tinggi dapat mencetak manusia-manusia yang memiliki skill, intelektualitas dan kemampuan bersaing yang tinggi. Hal itu dapat dilihat dari lulusan suatu perguruan tingginya dan hasil-hasil karya ilmiah semisal dari penelitian yang dilakukan oleh perguruan tinggi tersebut.

Dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan pemerintah melalui Kementrian Pendidikan Nasional mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) No 66 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Penyelenggaraan Pendidikan. Kebijakan ini secara resmi disahkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 28 September 2010 sebagai pengganti PP No. 17 Tahun 2010 yang merupakan peraturan pelaksana dari Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) yang telah dicabut Mahkamah Konstitusi (MK) pada bulan Maret lalu. Belum genap satu tahun diundangkannya Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan. Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2010 dibuat oleh karena adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11-14-21-126-136/PUU-VII/2009 yang menyatakan bahwa Undang Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan sudah tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Otomatis keberlakuan dari PP No. 17 Tahun 2010 pun dicabut.

            Ada yang mengatakan bahwa keluarnya Peraturan Pemerintah No. 66 Tahun 2010 ini merupakan angin segar bagi pendidikan di Indonesia namun ada juga yang berpandangan sebaliknya. Ada empat hal yang harus diperhatikan terkait penyelenggaraan pendidikan yang ditetapkan dalam PP No. 66 Tahun 2010 ini yaitu:
1. Seluruh Perguruan Tinggi Negeri (PTN) termasuk Politeknik wajib menerima mahasiswa dengan latar belakang ekonomi menengah ke bawah tetapi memiliki otak cemerlang minimal 20 persen dari total penerimaan mahasiswa baru.
2. Dalam proses rekrutmen mahasiswa baru di masing-masing PTN harus menerima mahasiswa yang melalui jalur seleksi nasional (SNMPTN) minimal sebanyak 60 persen dari total penerimaan mahasiswa baru.
3. PT yang bestatus Badan Hukum Milik Negara (BHMN) secara bertahap harus menyesuaikan status menjadi Badan Layanan Umum (BLU) dengan berbagai sistem pengelolaan yang diatur dalam PP tersebut.
4. Mengenai pemilihan, pengangkatan dan pemberhentian rektor perguruan tinggi negeri dilakukan oleh Menteri.

Berlakunya PP ini seolah menjadi harapan baru dan berarti kewajiban pemerintah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa sudah dapat dikatakan terwujud dalam sistem dan pendanaannya yang sangat menguntungkan bagi seluruh lapisan masyarakat terutama masyarakat yang mempunyai keterbatasan ekonomi. Keputusan pemerintah agar PTN menjatah kursi 20 persen untuk mahasiswa miskin merupakan keputusan tepat. Namun, pemerintah juga harus mengevaluasi implementasi kampus terhadap kebijakan tersebut.  Apalagi hal tersebut didukung dengan diundangkannya Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2008 tentang Wajib Belajar yang mewajibkan satuan pendidikan milik pemerintah atau pemerintah daerah untuk tidak memungut biaya, maka dalam Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2010 ini pemerintah telah mewajibkan satuan pendidikan menengah (SMA, SMKN dan MA) dan satuan pendidikan tinggi (akademi dan perguruan tinggi) milik pemerintah atau pemerintah daerah untuk memberikan kesempatan bagi masyarakat yang mempunyai keterbatasan ekonomi dan mempunyai kemampuan akademi yang memadai untuk ikut menikmati pendidikan dengan biaya ringan atau bahkan gratis.[2]

 Harus diakui, pilihan memerangi kemiskinan melalui jalur pendidikan adalah sebuah kebijakan cerdas dan paling mulia karena mengikutsertakan keluarga yang kurang mampu untuk mengenyam pendidikan lebih tinggi (masuk perguruan tinggi, sebagai mahasiswa), hasilnya akan bermuara pada peningkatan kemampuan kapasitas pengetahuan sekaligus kesempatan untuk memperoleh lapangan kerja yang lebih baik atau bahkan menciptakannya. Itulah sebabnya mengapa hadirnya PP ini memberikan harapan baru bagi ketersediaan akses pendidikan bagi seluruh masyarakat Indonesia.

PP ini juga sesungguhnya untuk meningkatkan modal sosial bagi masyarakat kita. Bagaimana jadinya jika modal sosial di masyarakat kita makin lama makin kecil, akibat disparitas yang makin melebar. Harus diakui, realitas saat ini menunjukkan, mereka  yang kini mengenyam pendidikan tinggi adalah yang berasal dari kelompok menengah ke atas. Jika kemudian tidak ada kebijakan yang memberikan peluang bagi masyarakat kurang mampu menikmati pendidikan tinggi, dapat dipastikan akan muncul ketidakadilan di masyarakat. Padahal, sesungguhnya mereka juga mampu secara akademik.

Akan tetapi ada juga orang-orang yang berpandangan bahwa PP No. 66 Tahun 2010 hanya kanibalisasi dari UU BHP yang masih melakukan komersialiasasi pendidikan. Justru PP tersebut dinilai hanya memecahkan masalah pemerintah bukan masalah rakyat karena keterbatasan anggaran, sehingga mewajibkan PTN menerima mahasiswa miskin.  Isi dari PP tersebut hanya menyangkut masalah teknis, tidak menyentuh persoalan ­rakyat seperti yang dikehendaki oleh putusan MK atas dicabutnya UU BHP. Yang juga dipertanyakan di sini adalah dasar pertimbangan pemerintah atas penerimaan mahasiswa miskin 20 persen. PTN akan membuat berbagai syarat untuk keluarga miskin, terutama kecerdasan. Lantas bagaimana dengan orang miskin yang tidak terlalu cerdas, tapi ingin menempuh pendidikan tinggi. Apakah orang ini akan diterima?

Lantas perhitungan 20% tersebut dianggap sebagian kalangan universitas sebagai sesuatu yang memberatkan. Namun menurut pandangan kami seharusnya hal tersebut tidaklah menjadi masalah Karena 10% dari 20% yang diamanatkan dalam PP tersebut sesungguhnya telah ditanggung oleh pemerintah pusat melalui program Beasiswa Bidik Misi, program yang pada tahun ini telah menjaring sebanyak 20 ribu lulusan SMA/SMK/MA untuk bisa kuliah sampai lulus tanpa biaya di perguruan tinggi negeri[3]. Seandainya program tersebut dijalankan dengan baik maka universitas tinggal menanggung 10% pendanaan dari adanya ketentuan tersebut.

Kemudian dalam PP tersebut juga diatur bahwa PTN menyediakan kuota 60 persen mahasiswa baru. Hal ini dipandang positif oleh sebagian kalangan namun juga dipandang negatif oleh kalangan lainnya.[4] Penyetaraan tingkat pendidikan di seluruh Indonesia menjadi cita-cita dari Pemerintah Republik Indonesia dan dengan adanya penyeragaman antara satu daerah dengan daerah lainnya diharapkan kualitas pendidikan di Indonesia semakin merata. Akan tetapi pengaturan tersebut  juga menimbulkan pendapat yang kontra bahwa sangat sulit untuk menyetarakan pendidikan pada daerah-daerah tertentu karena memang karakteristik daerah tersebut yang tidak sama dengan daerah lainnya. Hal itu akan menyulitkan peningkatan kualitas pendidikan secara bertahap karena metode yang diberikan pun harus disesuaikan dengan karaktersietik yang ada. Peningkatan input mahasiswa baru juga tidak identik dengan penetapan kuota kuantitas mahasiswa dari proses seleksi yang sama.[5]

Terbitnya Peraturan Pemerintah No. 66 Tahun 2010 juga mengharuskan perguruan tinggi berstatus badan hukum milik negara (BHMN) mengubah statusnya menjadi badan layanan umum (BLU) sampai paling lambat 31 Desember 2012. Dalam peraturan yang diterbitkan pascapembatalan UU BHP oleh Mahkamah Konsitusi ini, perguruan tinggi dengan status BHMN diharuskan menerapkan statuta baru sebagai BLU paling lambat tiga tahun ke depan. Artinya harus ada perubahan lagi dari universitas baik itu internal maupun eksternal untuk menyesuaikan diri dengan peraturan ini. Dengan status suatu universitas yang menjadi BLU maka otonomi pengelolaan kampus menjadi simpang siur karena pemerintah dipandang terlalu campur tangan terhadap permasalahan teknis pengelolaan.[6] Akan tetapi dengan berubahnya status menjadi Badan Layanan Umum otonomi kampus tetap menjadi prinsip utama dalam pembangunan.

            Yang menjadi masalah di sini adalah otonomi kampus bukanlah otonomi murni melainkan otonomi dalam cengkraman pemerintah. Inilah yang dikhawatirkan oleh kalangan kampus bahwa pemerintah turut mengurusi teknis dalam hal pengurusan kampus. Perguruan tinggi juga tidak bisa dipaksakan untuk menerima Badan Layanan Umum (BLU) seperti yang berlaku di lembaga lain seperti rumah sakit.[7] BLU pendidikan harus spesifik, dengan sistem BLU, pengelolaan akan sangat merepotkan karena PTN diwajibkan untuk membuat perencanaan sangat detail untuk penggunaan anggaran satu tahun kedepan. Apalagi PTN harus tunduk kepada tiga UU Keuangan untuk dapat merubah statusnya menjadi Badan Layanan Umum. Tentu membutuhkan perencanaan yang sangat matang.

Pendidikan Indonesia memang tidak pernah ada habisnya untuk dikritik, direnungkan, disesalkan, dan dibicarakan oleh orang-orang yang peduli terhadap pendidikan di Indonesia. Pendidikan di Indonesia masih dikatakan belum mampu menjawab kebuntuan problema yang dihadapi masyarakat. Indonesia tidak bisa lepas dari urutan yang mencapai ratusan terhadap penilaian mutu pendidikan dunia. Mirisnya pada Tahun 2003 Indonesia menempati urutan ke-112 dari 175 negara berdasarkan hasil penelitian Human Development Index (HDI) sedangkan Malaysia pada urutan ke-58 dan Singapura ke-28[8]. Padahal dalam sejarah kedua negara tersebut berguru kepada Indonesia dan meniru konsep pendidikan dari Indonesia.

Pada intinya pendidikan adalah sebuah aksi, aksi membawa seseorang keluar dari kondisi yang tidak merdeka, tidak dewasa, dan tergantung kepada situasi merdeka, dewasa dan mandiri serta bertanggungjawab. Pendidikan tidak hanya bertujuan menciptakan manusia siap kerja tetapi membentuk manusia matang dan berwatak yang siap belajar siap menciptakan lapangan kerja, dan siap mengadakan transformasi sosial melalui transformasi pendidikan yang didapatnya. Pendidikan adalah sebuah proses pedagogis yakni membentuk manusia matang, intelek, dan kultural. Dengan perubahan sistem yang ada di Indonesia tentu harapannya adalah semakin maju pendidikan Indonesia. Tentunya perubahan merupakan penyampaian visi dari adanya perbaikan kualitas pendidikan di Indonesia. Akhir kata sebagai mahasiswa mari bersama-sama membangun bangsa Indonesia melalui pendidikan karena belajar adalah sekecil-kecil aksi dan sebesar-besar manfaat.


0 komentar:

Posting Komentar

Copyright © responsif-inspiratif